Hingga saat ini masyarakat meyakini bahwa jalan untuk sukses satu-satunya adalah melalui sekolah. Sekolah dianggap sebagai pintu gerbang masuknya ilmu pengetahuan bagi anak. Ini didukung dengan kepintaran yang anak miliki semua karena hasil didikan di sekolah. Hal ini bisa saja benar, jika kita mempersempit cara pandang kita.
Yang saya maksud adalah seperti ini, jika kita mengulas tentang pendidikan, sebenarnya sekolah hanyalah salah satu jalan untuk mencerdaskan anak. Pendidikan sangat luas maknanya, tidak terbatas hanya pada sekolah. Bahkan seluruh kegiatan yang dapat memungkinkan anak memiliki wawasan yang baru, itu bisa saja disebut sebagai proses pendidikan.
Dengan sempitnya cara pandang, terkadang tujuan orangtua untuk menyekolahkan anak juga bergeser. Saya ibaratkan seperti ini, jika sekolah itu tidak ada ijazah, tidak ada nilai, apakah orangtua masih yakin untuk menyuruh anak sekolah? Yang terjadi saat ini adalah, masyarakat terlalu bergantung dan berharap lebih pada institusi pendidikan yang bernama sekolah.
Kita membayangkan jika anak-anak kita masuk ke sekolah, mereka sudah diberikan seluruh bekal komplit untuk menghadapi dunia. Kenyataannya, sekolah tidak memiliki banyak waktu untuk mengajarkan itu semua kepada anak-anak kita. Waktu di sekolah habis terbuang hanya untuk membahas materi pelajaran dengan gaya mengajar yang monoton dan mengerjakan soal-soal sebagai bukti penguasaan materi. Jika sudah demikian, orangtua siap-siap kecewa, tinggal menunggu waktu hingga anak lulus sekolah dan tak dapat menunjukkan hasil pendidikannya secara nyata.
Tentang penilaian juga menyisakan permasalahan. Dalam kurikulum kita, siswa diharuskan lolos untuk setiap materi yang mereka tempuh. Jika penguasaannya masih rendah, terdapat kegiatan remedial (pengulangan). Permasalahnnya muncul di sini, pertama, tidak semua siswa menyukai seluruh materi pelajaran. Jika hal ini terjadi, maka kegiatan remedial merupakan hal yang membuang-buang waktu. Kedua, dalam konteks belajar, kesalahan adalah merupakan inti dari proses. Karena dari kesalahan ini, anak akan lebih tahu mana jalur yang tepat untuk berhasil. Bukan semata berhasil karena ada tuntutan harus lolos batas minimum.
Saya rasa sudah saatnya kita mengevaluasi pendidikan kita. Sekolah yang tujuannya untuk mengembangkan wawasan generasi muda, justru seakan menjadi rutinitas belaka. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat anak-anak muda berproses, ternyata hanya menjadi tempat reward and punishment. Sekolah seharusnya tempat yang ideal bagi anak-anak mengeksplorasi diri, kenyataannya mereka datang dengan keterpaksaan dan tak jarang dengan keengganan.
Memang, tidak semua pelajar kita seperti itu. Masih banyak pelajar yang menuntut ilmu dengan baik, teratur, pandai, tapi hanya sebatas itu yang mereka punya. Jika memang ada yang berprestasi hingga tinggi, olimpiade dan sebagainya, jumlahnya hanya sedikit dibanding seluruh jumlah siswa Indonesia. Bukannya, semua harus punya kesempatan yang sama ya untuk berkembang. Sekolah itu tempat untuk memerdekakan pikiran, bukan justru mengerdilkan pikiran.
Anda, menyekolahkan anak tujuannya apa?